Gernerasinusa.com, Simalungun
"Musik Gondrang dalam Ritus Keagamaan Masyarakat Simalungun"
Abstrak
Suku Batak adalah suatu suku yang mendiami daerah di Provinsi Sumatera Utara, mulai dari perbatasan Provinsi Aceh di utara sampai Provinsi Riau di selatan.dengan cakupan teritorial yang luas, suku ini terbagi lagi menjadi beberapa sub-suku. Salaha satu sub-suku Batak, yakni suku Simalungun. Simalungun secara etimologi dapat diartikan “orang yang bersedih hati, sunyi, dan kesepian”. Istilah ini berpengaruh dari latar belakang orang Simalungun yang mayoritasnya senang mendengar musik yang bernuansa sedih.Pengalaman akan mengindrawi musik merupakan titik tolak akan adanya kekayaan Kesenian Musik Tradisional masyarakat Simalungun. Salah satu kekayaan musik tersebut, yakni alat musik ansambel gonrang. Gonrang merupakan bagian yang amat penting dalam dinamika kehidupan Simalungun. Dalam praktik kehidupan adat istiadat, musik gonrang akan selalu berkaitan dengan berbagai upacara.
Pengantar
Provinsi Sumatera Utara adalah sebuah provinsi yang berada di bagian barat Indonesia. Di provinsi ini terdapat satu suku yang begitu familiar di Indonesia, yakni Suku Batak. dewasa ini, orang Batak mendiami daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan Provinsi Aceh di utara sampai Provinsi Riau di selatan. Suku Batak dibagi ke dalam beberapa sub-suku. Pembagian sub-suku ini didasarkan pada perbedaan unsur-unsur kebudayaan. Salah satu perebedaan yang begitu kental yang membagi sub-suku-suku ini yaitu kesenian tradisional. kesenian tradisional menjadi kriteria dalam penyingkapan budaya sesuai dengan indikator unsur-unsur kebudayaan. Dalam penyingkapan itu, nilai dan makna dari sebuah kesenian menjadi sentral dalam menentukan suatu kebudayaan bagi orang Batak.
Salah satu sub-suku dari Suku Batak yaitu Simalungun. Bagi masyarakat Simalungun, kesenian tradisional menjadi identitas yang khas bagi mereka. Kekhasan ini begitu melekat dalam ideologi masyarakat Simalungun, sehingga secara alamiah mereka berusaha untuk mempertahankan eksistensi keseniannya. Salah satu kesenian masyarakat Simalungun yang masih begitu terpelihara hingga kini yakni kesenian Musik Gonrang. Kesenian ini hampir terkenal di seluruh daerah Sumatera Utara dengan nama yang berbeda. Seringkali kebanyakan orang menyebutnya dengan istilah gondang.
Melihat pengikisan makna dalam penghayatan akan seni musik Gonrang diarus globalisasi ini, mendorong penulis untuk menguraikan peran musik Gonrang sebagai pendukung dalam peristiwa religiusitas masyarakat Simalungun. Maka, dalam penulisan artikel ini, penulis ingin menguraikan beberapa hal terkait alat Musik Gonrang, yakni sejarah musik dan perkembangannya dalam dunia modern ini serta peran Musik Gondrang dalam ritual keagamaan masyarakat Simalungun, dengan harapan mampu membantu pembaca lebih mengenal kesenian ini sehingga mampu menghayati nilai-nilai yang dihadirkan dalam alat musik Gonrang. Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum begitu sempurna dan penulis masih sangat memerlukan kritik dan saran yang membangun dari segala pihak. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas segala perhatiannya.
Isi
Istilah Simalungun
Secara etimologi kata “simalungun” menggambarkan karakter masyarakat Simalungun itu sendiri. Kata Simalungun terdiri dari tiga suku kata yakni Si berarti “orang”, Ma sebagai kata sambung “yang” ,dan lungun berarti “sunyi, kesepian, jarang dikunjungi”. Dengan demikian Simalungun berarti “ia yang bersedih hati, sunyi, atau kesepian.” Hal ini muncul dari tutur kata yang halus dan ringan pada masyarakat Simalungun. Keadaan ini dipengaruhi banyaknya lagu-lagu nostalgia yang bernuansa kesedihan yang dimiliki masyarakat Simalungun. Akar kata Simalungun yang begitu erat kaitannya dengan seni musik mengidentifikasikan masyarakat Simalungun dengan masyarakat yang memiliki jiwa kesenian yang tinggi khususnya dibidang musik.
Masyarakat Simalungun memandang diri mereka sebagai suatu kelompok etnis yang kuat karena dipersatukan oleh musik tradisional yang unik. Salah satu seni musik yang tak lekang oleh waktu dan perubahan zaman yakni gonrang. Gonrang merupakan bagian yang amat penting dalam dinamika kehidupan Simalungun. Dalam praktik kehidupan adat istiadat, musik gonrang akan selalu berkaitan dengan berbagai upacara. Hal ini berkaitan erat dengan falsafah masyarakat Simalungun dalam upacara pernikahan, yaitu tolu sahundulan lima saodaran yang berarti tiga kedudukan kerabat,yakni tondong (pihak pemberi isteri), sanina (satu marga), anak boru (pihak penerima isteri) dan lima struktur sosial secara umum, yakni tondong, sanina, suhut (tuan rumah pesta), anak boru jabu (suami adik perempuan isteri, menantu, dan anak dari adik perempuan), dan anak boru mantori (kelompok keluarga dari suami)
Hal ini serupa dengan nuansa harmonis yang timbul dari perpaduan bunyi musik yang dibunyikan secara kelompok atau sering disebut juga ansambel musik gonrang. Atas perpaduan bunyi yang harmoni, masyarakat Simalungun mengadopsi gonrang secara lebih luas, sehingga menyentuh aspek religiusitas masyarakat Simalungun.
Pengertian Musik Gonrang
Musik gonrang merupakan suatu kesenian tradisional dari Kabupaten Simalungun. Musik ini dimainkan secara berkelompok atau ensambel. Ensambel gonrang terdiri dari beberapa jenis alat musik yakni, alat musik tiup, gong, dan perkusi. Gondrang sendiri diambil dari istilah alat musik yang mempunyai bunyi dominan dalam ensambel, yakni alat musik perkusi dalam hal ini gendang. Gendang kemudian di serap dalam percakapan orang Simalungun dan mengalami perbedaan bunyi menjadi gonrang sehingga masyarakat simalungun menyebut istilah gonrang sebagai kesenian musik tradisional mereka.
Komponen Musik Gonrang
Musik gonrang merupakan alat musik yang dimainkan secara berkelompok atau disebut dengan ensambel. Kelompok itu terdiri dari beberapa jenis alat musik yakni alat musik tiup, perkusi, dan gong.
Alat Musik Perkusi
Dalam ensambel gonrang yang berperan paling penting yakni alat musik perkusi dalam hal ini gendang. Bagi kepercayaan masyarakat Simalungun, gendang ini berfungsi sebagai media pemanggilan roh-roh nenek moyang dan meminta nasehat maupun berkat dari mereka. Jumlah alat tabuh ini kerap kali digunakan secara situasional. Apabila selain upacara pemakaman, biasanya gendang dipakai sebanyak dua buah sehingga sering disebut juga gondrang sidua-dua atau gonrang dagang yang berarti gonrang yang tidak lengkap pasangannya. Pada upacara pemakaman gendang yang dipakai sebanyak tujuh buah, biasanya disebut gonrang pitu (tujuh) atau gonrang bolon (besar).
Gong
Alat musik yang lain dalam ensambel gonrang yakni sepasang gong besar yang terbuat dari perunggu. Ukuran gong ini berdiameter 30-40 cm. Sering juga dijumpai gong yang berukuran lebih kecil. Pada bagian atas gong tersebut dimasukan tali sebagai gantungan pada duah buah pasak atau paku yang dipantek pada satu bingkai kayu. Ada sejumlah nama yang digunakan untuk menamai gong-gong besar tegantung pada lokasi daerahnya di wilayah Simalungun. Di wilayah Toba orang menyebutnya dengan gung Sitandol, gung panggora, sedangkan di wilayah Simalungun orang menyebutnya dengan tawaktawak atau tetawak.
Mongmongan
Komponenn ketiga dari ansambel musik gonrang adalah alat musik yang disebut mongmongan. Alat ini tersusun atas dua buah gong kuningan kecil berdiameter 15-20 cm. Dikarenakan pembuatannya yang sulit dalam penyesuaian nada menyebabkan mongmongan jarang dipakai pada abad ke-19. Terjadinya penurunan dramatis dari angka produktivitas alat musik ini, maka terjadilah peralihan fungsi., yaitu dari pendukung irama menjadi sekedar bunyi pelengkap dalam musik gonrang.
Sitalasayak
Alat musik gonrang sitalasayak, sudah tidak lagi dijumpai dewasa ini. Sitalasayak atau talasayak (digunakan di wilayah Simalungun sebelah utara yang berbatasan dengan daerah Batak Karo) adalah sebuah simbal atau piringan dari logam kuning berdiameter sekitar 15-20cm. Diduga simbal ini berasal dari Thailand serta pengaruh dari adaptasi alat musik daerah lain. Terdapat dua teknik memainkan alat musik ini yakni dengan teknik perlagaan dan teknik berdesir. Kedua teknik ini akan menghasilkan dua bunyi yang berbeda. Karena bunyi yang bervariasi ini talasayak berfungsi sebagai pelengkap bagi alat musik gong yang mengawali siklus bunyi gong dan menekankan pentingnya bunyi gong. Pada zaman dahulu masing-masing kerajaanitu memiliki tiga atau empat pasang sitalasayak, namun kemunduran eksistensi gonrang pada tahun-tahun belakangan dan kekurangan bahan logam waktu zaman penjajahan Jepang menjadi penyebab utama sitalasayak mengalami kemunduran dan dianggap tidak penting kontribusinya bagi irama gonrang.
Sarunai
Sarunai adalah sejenis alat tiup dengan baluh (laras) terbuat dari bahan kayu silastom atau juhar yang merupakan jenis kayu keras. Umumnya dalam waktu dua tahun,baluh akan pecah dan serunai tidak dapat digunakan lagi. Alat musik tiup sarunei bagi ensambel musik gonrang Simalungun memegang peran dalam hal melodi. Dalam proses pembuatan sarunei ada cara unik dan kearifan yang dilakukan para pekerjanya. Dibutuhkan keterampilan tangan dari para pekerja dalam proses pengerjaannya.
Sejarah Gonrang
Konon orang batak berkeyakinan bahwa keberadaan mereka di tanah batak bukan merupakan dampak dari pola hidup nomaden Proto-Melayu. Leluhur mereka adalah penduduk asli yang mendiami pusuk buhit. Menurut cerita leluhur masyarakat Batak, sub-suku Batak memiliki satu raja yang sama, yaitu Si Raja Batak. Awalnya Danau Toba dan Pulau Samosir yang berada di tengah tanah Batak menjadi titk pusat dari kediaman masyarakat Batak. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk masyarakat mulai menyebar sampai ke daerah Simalungun (sebelah timur Danau Toba). Masyarakat Simalungun memiliki loyalitas etnik dan memandang diri mereka sebagai suatu kelompok etnik yang dipersatukan oleh unsur budaya.
Letak geografis yang berada di pesisir, membuat masyarakat Simalungun terbuka terhadap proses pertukaran pemikiran karena memiliki kepribadian orang pesisir , yang pada umumnya bersikap halus dan terbuka terhadap hal-hal baru. Faktor ini membuka kesempatan bagi Orang Tamil (Suku India), Kerajaan Jawa, Agama Islam, dan Agama Kristen dengan mudah mengeksplor budaya mereka di tanah Simalungun. Pertukaran pemikiran ini mempengaruhi masyarakat Simalungun untuk menenal budaya-budaya pendatang. Pengenalan ini menimbulkan pengadaan alat-alat musik oleh setiap pendatang.
Sebelum tahun 1860-an, masyarakat menggunakan berbagai alat musik yang diterima dari budaya lain. Sebagai sebuah ritus pemanggilan roh nenek moyang, khususnya dengan memukul gendang sebagai simbol pemanggilan arwah dalam komunitas parmalim. Ritus ini kemudian dikembangkan dengan menambah harmonisasi musik, sehingga di tambahkan beberapa instrumen yang telah disebutkan di atas sehingga memunculkan suatu irama musik yang khas. Berdasarkan irama itu, Masyarakat Simalungun menyebutnya dengan gonrang, yang diserap dari kata gendang,dikarenakan bunyi gendang lebih dominan dibanding yang lain.
Akan tetapi, pada tahun 1860-an, pengaruh kekristenan muncul di tanah Batak oleh Dr. Ludwig I. Nommensen. Ia memulai misi evangelisasi. Usaha ini cukup berhasil,sehingga terbentuklah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) pada tahun 1880-an. Secara serentak juga kesenian tradisional mengalami hambatan dalam eksistensinya. Peristiwa yang paling merugikan adalah pelarangan total ansambel gonrang sebagai wujud konsultasi para misionaris Kristen dan pihak pemerintahan Belanda (VOC). Nomensen berupaya mengembalikan keaslian budaya Simalungun,namun bagi Nomensen dan para misionaris lainnya ansambel gonrang terlalu kuat berhubungan dengan upacara-upacara animisme dan pemanggilan roh-roh leluhur, maka kesenian musik gonrang pun dilarang pada tahun 1898. Pada tahun-tahun belakangan ini, musik ini dipandang sebagai kekayaan tradisional, sehingga gereja-gereja mulai menerima ansambel gonrang sebagai kesenian tradisional Simalungun dan dapat dijadikan sarana pendukung peribadatan keagamaan.
Kegunaan Ansambel Musik Gonrang
Setelah kita mengetahui komponen dan sejarah ansambel musik gonrang, kita mengetahui perannya tidak pernah lepas dari kehidupan Masyarakat Simalungun. Ansambel gonrang lazim digunakan untuk menyajikan suatu lagu untuk musik gonrang, ini biasanya disebut dengan istilah gual. Gual dalam bentuk kata kerjannya, Manggual, berarti ”menabuh gendang”,atau secara luas berarti “memainkan lagu gonrang”. Panggual mengacu pada para penabu dan gual-gual mengacu pada tongkat pemukul gendang. Terdapat unsur yangpenting dari gual yakni 1) alunan melodi sarunai yang bervariasi 2)struktur kolotomis dasar yang dimainkan pada gong dan mongmongan 3) pola irama yang berhubungan dan divariasikan oleh imbal irama yang dimainkan pada gendang.
Terdapat dua klasifikasi dasar dalam karya musik gonrang. pertama gual yang bersifat gembira dan sedih. Keduanya, bergantung pada makna lagu tersebut dan suasana saat gual tersebut dibawakan. Pembagian kedua, didasarkan pada kegunaannya: yaitu apakah gual tersebut dibawakan pada upacara adat atau hanya sebagai hiburan (hear). Selain itu terdapat sistem klasifikasi gual sesuai fungsi-fungsinya. Kelompok-kelompok gual mencakup:1) gual parahot dan gual sabsab, yaitu gual yang wajib dibawakan pada pembukaan suatu acara perayaan 2) gual parahot pengganti menurut keadaan setempat, 3) gual yang digunakan dalam tarian adat, dan 4) gual yang digunakan pada upacara pemakaman.
Dengan pengklasifikasian di atas, gaul dapat menyentuh setiap kehidupan masyarakat Simalungun. Cakupan kegunaan gonrang yang begitu luas merupakan suatu kekayaan masyarakat Simalungun yang menjadikan gonrang masih terpelihara dengan baik. Akan tetapi perubahan arus globalisasi yang begitu cepat berdampak bagi pengaburan nilai. Nampaknya, usaha yang dibuat pemerintah dengan melibatkan lembaga-lembaga sekolah dan gereja berorentasi ke dunia baratdan bersifat informal. Dengan demikian tampaknya kesenian ini bersifat subyektif sehingga perlahan gonrang akan mengalami kepunahan.
Fungsi Sakral Ansambel Musik Gonrang
Dari penjelasan tentang gual, kita sudah melihat bahwa gonrang dapat menyentuh semua sisi masyarakat Simalungun. Gual yang menyentuh sisi spiritual manusia yakni gual parahot. Sejak awal muncul gondrang, gual ini sudah digunakan pada awal upacara-upacara adat dan keagamaan. Hal ini membagi gual menjadi dua kategori yakni, 1) gual yang berkenan dengan sifat Tuhan dan 2)gual yang berkaitan dengan sifat manusia dan kehidupan fana di bumi. Ada semacam stigma masyarakat mengenai gaul ini,mereka akan merasa takut kalau tidak mendengar dengan baik, karena bagi orang Simalungun bunyi gendang adalah lambang pemanggilan arwah. Jadi, ketika seseorang tidak hormat pada panggilan tersebut, ia akan diganggu dan dihantui dan membuat mereka sakit. Masyarakat Simalungun juga percaya, apabila mereka memperlakukan roh nenek moyang mereka dengan baik, mereka akan memperoleh kebahagiaan di dunia ini.
Atas paradigma ini, keluhuran nilai gonrang masih sangat kental pada masyarakat asli Simalungun. Dalam hal ini gonrang berperan menghadirkan suatu situasi yang sakral yang dapat memungkinkan “komunikasi batin” antara roh dan manusia. Fungsi ini tergambar lebih jelas dalam komunitas parmalim. Kesakralan itu tergambar pada musik gonrang menjadi satu-satunya media pendukung dalam tarian tor-tor. Tarian ini memungkinkan seorang penari yang mendengar gonrang akan dengan cepat mengalami kerasukan (trance). Funsi gondrang juga sebagai pengiring perayaan yang dibawa kan pada berbagai upacara diantaranya saat upacara pemahkotaan raja hingga upacara pemakaman, dari upacara selamatan memasuki rumah baru dan peresmian lumpang beras (manogu losung) hingga ritualyang melibatkan penyucian spiritual maupun pengusiran setan. Di era sekarang dalam perkembangan global yang begitu cepat gonrang dipandang sebagai kesenian tradisional yang kurang memiliki nilai magis, sehingga gereja mengadopsi pengunaan gonrang dalam tindakan liturgi dan doa-doa gereja. Dengan gual yang bermacam-macam pengklasifikasiannya, mendukung ekspresi gonrang untuk berkancah pada pemeriahan acara-acara Gereja.
Penutup dan Relevansi
Masyarakat Simalungung memiliki kekayaan tradisional yang begitu melimpah. Salah satu kekayaan itu yakni kesenian musik tradisional ansambel gonrang. Gonrang merupakan sentral dari pengembangan budaya yang mencerminkan identitas masyarakat Simalungun. Ansambel musik gonrang terdiri dari gendang yang berjumlah tujuh atau dua, gong yang berpasangan, mongmongan, sitalasayak, dan sarunai. Alat-alat musik ini adalah pengaruh dari suatu sikap orang Simalungun yang terbuka terhadap budaya lain, sehingga mencerminkan kepribadian orang Simalungun yang lembut dan halus sesuai dengan etimologi kata Simalungun.
Melewati sejarah yang panjang, ansambel gonrang sejauh ini masih terpelihara dengan baik dalam masyarakat, hanya saja terjadi pergeseran makna kesakralan alat musik ini yang diakibatkan awalnya oleh faktor gual sebagai hiburan. Akan tetapi dengan pengaruh budaya barat yang kuat dalam nusantara ini, sarana hiburan itu menjadi dominan dan menimbulkan pengaburan makna. Melihat situasi demikian pemerintah setempat telah mengambil langkah formal yang dibuat dalam lingkungan sekolah dan lingkungan keagamaan. Hanya saja, untuk mengambalikan khazanah musik ansambel gonrang dibutuhkan pemahaman akan latar belakang alat musik ini dengan baik. Dituntut juga untuk memelihara nilai-nilai kesakralan sejauh itu tidak bertentangan dengan nilai keagamaan dan nilai pancasila yang ada dalam negara ini.
Kini, ansambel gonrang sudah mendapat makna religiusitas dari pihak masyarakat Simalungun. Komunitas keagamaan dalam hal ini komunitas Kristiani, telah mengadopsi alat musik gonrang sebagai pendukung kemeriahan dalam doa-doa serta sebagai pengikat kebersamaan antar umat. Memiliki peranan dan fungsi yang besar dalam kehidupan masyarakt Simalungun menjadikan gonrang sebagai alat musik tradisional peninggalan leluhur yang wajib dilestarikan dan diekspresikan sebagai kebanggaan masyarakat Simalungun.